Tak seperti biasanya, Fery (bukan nama sebenarnya) sikapnya berubah dari yang biasanya jahil dan suka bercanda, menjadi serius dan tak banyak bicara. Bahkan keringat mulai membasahi dahi, hidung, dan dagunya. Beberapa kali terlihat dia mengusapnya, namun saat kami semakin dalam memasuki gua, Ferry semakin tak tenang. Apalagi saat pemandu gua berhenti di masing-masing cerukan atau ruangan yang ada di dalam Lubang Jepang, menjelaskan sejarah singkat gua berikut fungsi ke 21 ruangan yang saling terhubung bak labirin.
Terdapat 21 lobang/ruangan yang saling terhubung. Ada ruang amunisi, ruang tidur, ruang pengintaian, ruang pelarian, ruang penyiksaan, ruang sidang, ruang rapat, penjara dan dapur. Semuanya terhubung satu dengan yang lain, bak labirin. Tak hanya itu, Fery yang di objek-objek wisata sebelumnya selalu berdiri paling depan saat mendengarkan penjelasan mengenai sejarah tempat yang kami kunjungi, tidak demikian kali ini. Dia memilih berdiri di tengah-tengah rombongan. Keringat semakin deras membasahi tidak hanya wajah, tapi juga leher dan tangannya. Padahal saat itu udara dalam gua lumayan sejuk. Aku yang sejak awal memerhatikannya, jadi bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi dengan Fery.
Tiba di ruangan yang diberi label penjara, sikap Ferry semakin aneh. Saat itu salah seorang teman ingin berfoto persis di depan pintu jeruji ruang penjara. Tiba-tiba Fery berteriak, “Jangan foto di situ!” Kami semua menoleh ke arahnya, dan teman yang ingin berfoto tersebut akhirnya mengurungkan niatnya tanpa bertanya alasannya.
Seperti dijelaskan oleh pemandu gua, cerukan yang diberi nama ruang penjara itu dulunya adalah ruang penjara bagi para tawanan perang Jepang yang kini difungsikan sebagai kuburan massal bagi ribuan tengkorak dan tulang belulang yang terdapat di gua saat pertama kali ditemukan.
Pemandu bertanya kepada kami,”Adakah di antara bapak-ibu, kakak dalam rombongan ini yang memiliki kemampuan melihat (makhluk halus)?”
Kami semua terdiam, tak ada yang menjawab.
“Jika ada, maka bapak, ibu, kakak akan banyak melihat (makluk halus) disini”, lanjutnya.
Selanjutnya kami dibawa ke sebelah ruangan yang berada tepat disebelah kanan Penjara. Sebuah ruang dengan luas sekitar 2m x1,5m. Di dalam ruangan terdapat tulisan berwarna merah “Dapur”.
Rupanya dapur yang dimaksud bukan untuk tempat memasak. Di tempat ini ada 2 lubang kecil, satu di atas untuk pengintaian, dan satu lubang lagi di bawah yang kala itu difungsikan untuk membuang jenasah para pekerja paksa dan tawanan perang yang mati akibat penyiksaan kejam tentara Jepang. Di empat sisi dinding dapur terdapat guratan-guratan.
Rupanya, dapur dalam gua (atau orang Bukittingi menyebutnya lubang) ini bukanlah dapur pada umumnya, melainkan tempat untuk penyiksaan atau lebih tepatnya memutilasi tubuh para buruh paksa yang sakit atau para tawanan perang lalu dibuang ke Ngarai Sianok seperti layaknya sampah.
Hanya beberapa menit berada dalam dapur ini, saya pun langsung merasakan kengerian saat membayangkan penyiksaan dan pembunuhan ribuan orang yang dilakukan oleh tentara Nipon. Tak ayal kisah horor ini membuatku bergidik dan tanpa diperintah, bulu kuduk pun berdiri.
Di dalam dapur terdapat sebuah meja beton yang menurut cerita pemandu gua, meja ini digunakan untuk mengeksekusi tawanan. Di atas meja inilah tentara Jepang memutilasi para tawanan dan buruh. Tepat diatas meja beton terdapat sebuah kursi berbahan besi yang kosong tanpa alas dudukan.
Masih menurut pemandu, dengan mata telanjang kita hanya melihatnya sebuah kursi kosong, namun bagi yang bisa melihat ada seorang kakek yang sedang duduk di kursi itu. Mendengar hal itu kami semua bergumam, ngeri “hiiiiii”
Aku tak melihat Fery, rupanya saat kami semua berada di ruang dapur, Fery memilih berada di luar, tak berani masuk. Kali ini terlihat jelas, wajah Fery yang pucat dan lemas, keringat dingin terus mengucur di wajahnya. Ketika ditanya kenapa, Ferry hanya terdiam.
Setelah semua ruangan dan lorong kami lalui, sorot cahaya mulai terlihat di ujung lorong. Cahaya hangat matahari menerobos masuk melalui kisi-kisi pintu lorong yang menandakan kami sudah berada di ujung perjalanan.
Setelah semua ruangan dan lorong kami lalui, sorot cahaya mulai terlihat di ujung lorong. Cahaya hangat matahari menerobos masuk melalui kisi-kisi pintu lorong yang menandakan kami sudah berada di ujung perjalanan.
Tiba di pintu keluar, saya segera menghirup udara sebanyak-banyaknya serasa ingin memuaskan paru-paru saya yang sejak tadi sesak oleh kisah kekejaman penjajah Jepang.
0 komentar:
Posting Komentar